Bintang Sang Bunda

Berdesir jiwaku memandang agung-Mu
Di senja tergulung memerah, menawan, mewarna nirwana
Di sampingku seorang bocah kecil yang sibuk menyanyi
Seraya ia memandangi langit yang berarak bersama hendak kembali ke peraduan

Lelap sudah sang surya
Maghrib berkumandang datang
Petang bersama bintang, berombongan dengan rembulan, mulai menari tarian jumpa
Aku tersenyum memandang elok dan lincah gerakannya

Nyanyian sang bocah berganti
Lagu lain terucap dari sang bocah
Tiba-tiba tempo nyanyiannya melambat
Berhenti di tengah syair

Menoleh ia ke hadapku
Aku perhatikan parasnya yang lucu
Polos, suci…

Senyumnya terkembang sebentar
Lalu dengan polosnya ia bertanya
“ Kakakku, di mana Bunda sekarang berada ?”

Aku tersentak menangkap kalimat itu
Aku tak mampu berkata
Karena ‘kuyakin, dia tak kan mampu menangkap kata-kataku
Ia terlalu kecil menerima kenyataan

Setelah memilah kata yang cocok untuk bocah sekecil dia
Sambil kutahan air mata, kucoba menjawab
“ Sayang, sekarang Bunda sudah di atas sana, Bunda bersama Tuhan”

Tak kusangka, ia kembali berkata
“ Kak, apa Bunda ditemani bintang-bintang?
Apa kita bisa ke sana, kita naik roket, Kak !
Apa bisa Bunda turun ?”

Terhenyak aku, tak kuasa menahan
Kuhapus linang air mata di kelopakku
Nyaris jatuh…

“ Sayang, Bunda tidak bisa turun.
Kita juga tak bisa bersua dengan Bunda mengendara roket.
Bunda memang ditemani bintang-bintang,
hanya anak-anak yang baik dan tidak nakal, yang nanti bisa bertemu Bunda.
Jadi, kalau kamu ingin bertemu Bunda, kangen Bunda,
berdoa sama Tuhan, supaya kamu bisa menjadi anak yang baik
dan nanti bisa ketemu Bunda, yah…”

Kupeluk sang bocah, kuciumi keningnya
Kubelai sayang rambutnya
Aku sadar, ia masih butuh seorang sosok Bunda
Namun, apa daya bila nasib yang berkata
Meski usai sudah kulakukan usaha,
jika nasib berbicara, apa yang mau dikata

Kembali kami berdua memandang angkasa
Mata bocah itu mencari-cari bintang bundanya
Ia menunjuk-menunjuk satu bintang yang sangat terang cahyanya

“ Itu, Bunda, Kak! Aku yakin itu Bunda.
Bunda, hati-hati,ya!
Bunda tunggu aku di sana, ya!
Sampai jumpa, Bunda!
Aku pasti kelak bertemu Bunda!”

Lantang ia teriakkan
Lantas ia tersenyum dan melambaikan jari-jari kecilnya yang manis
tanpa mengalihkan pandangan dari bintang itu

Aku tercekat
Hanya bulir air mata yang berucap
Wahai, Tuhan, duhai, Kekasih,
dengarlah adikku ini

Maka,Tuhan, aku hanya mampu mengadu kepada-Mu
Dengan menyebut nama-Mu, Yang Maha Pengasih
Aku mohon, ampuni dosa-dosa ayah dan bunda kami,
Kelak pertemukan kami kembali, berkumpul di dalam surga-Mu
Memeluk-Mu, bertemu kekasih-Mu, Baginda Muhammad…

Duhai, Maha Penyayang,
Izinkan kami, kelak menemui-Mu dalam keadaan baik dan mulia
Menyebut kalimat tauhid, membuktikan cinta kami
Cinta kami yang sejati, yaitu cinta kami untuk-Mu, hingga ujung usia
Menyambut dekap-Mu dengan beribu kerinduan yang tersimpan dalam kalbu


Jember, 17 Desember 2007

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

The Future

Future…
When are you come ?
I always wait for you
It’s not a short time
I always wait for you by climb the ladder of the times…

Wait…wait…and wait
Sometimes, I feel bored to study
I’m too tired!

But…
I know you will come to me, If I’m patient to wait you
With the heart that fulfilled by the faithful
With love and the strength
I promise…
I’ll be a good child
That’s very patient to wait you
With study
And I will try still to climb the ladder of the world

I know, the sun will accompany me
The moon, the stars
They will be a good partners for me to still step together

Find you…
In the last ladder of the world
The way to be a leader, a good leader…

Future…
Don’t go to anywhere
Wait for me, until I meet you with all of my happiness and also my pride

BY: Betari Aisah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Tiada Apa yang Dapat Kukata

Karya: Betari Aisah

Aku tercekat dalam khidmat

Tersedu kalbu, haru membiru…

Hanya meringkuk malu di hadapan Tuhanku

Tergugu akan apa perilakuku, sikapku

Jauh melayang pikiranku, jauh melampaui masa belia

Sampai berhenti di detik-detik indahku

Tiada apa yang dapat kukata

Begitu sejuk memandangnya

Namun, begitu cepat, hanya sekilas

Aku sudah melewati waktu-waktu itu

Jauh dari menit-menit bahagia dalam pangkuan

Tiada apa yang dapat kukata

Untuk melati suci yang pernah ia tanam di hatiku

Yang ia rawat setiap waktu

Namun melati itu kini kering, hilang suci

Di tanah gersang, hatiku…

Luluh luruh jiwa

Runtuh akan mengenang kasihnya

Kasihnya, yang ternyata hadiah indah dari Pengasih Yang Satu

Kasihnya, yang senantiasa kucerca dengan beribu dosa

Kata yang hanya menyulut api neraka…

Ingat aku, teringat isak tangisnya

Ketika aku berujar, aku bukan lagi anak kecil yang

dapat digendongnya ke mana-mana

Tiada apa yang dapat kukata

Dengan itukah kubalas cintanya

Dengan itukah aku balas ribuan doa mulia

Yang ia ucap dari bibirnya

Di setiap ibadahnya

Bersama bulir air mata yang tiada henti mengalir

Sajadahnya menjadi saksi keluh kesahnya

Tuhan…

Aku tahu Kau-lah yang meniupkan ruh suci itu

Kesucian hati yang pernah ia tanamkan di hatiku

Yang kini ‘kukhianati dengan lidah tajamku, dengan perilaku hina…

Aku tak pantas lakukan itu

Tuhan, akankah Kau ampuni aku

Akankah Kau terima ini

Doaku, untuk beribu maafku yang telah mengingkari cinta-Mu

Sungguh, aku tak tahu…

Bahwa ternyata sayangnya adalah sayang-Mu

Lembutnya adalah lembut-Mu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pesan Ilalang


Karya: Betari Aisah


Fajar kembali…

Jumpa pagi, sang mentari dan embun pagi

Ilalang tak lalai, tetap terbentang

Menebar sejuk kalbu yang sepi

Merasuk…merasuk…

Isi hati semangat hari

Mengusir kembang-kembang layu,

dalam jiwa sukma nan sedih

Ilalang setia bergoyang

Menyambut tegap langkah generasi,

Anak-anak yang menyambung detik

Mengisi kehampaan merdeka…

Merpati sambar melati

Tuai cinta bagi pelangi

Mewangi, hilang gundah sang jiwa suci

Jiwa suci, ceria, berpelangi para generasi cahaya…

Yang tetap teguh susuri raga sukma

Yang setia menemani kisah mentari,

kasih rembulan, dan sahabatnya, ilalang

Ilalang gemulai melambai

Sambut ajakan silir semilir, menari

Diteduh oleh rindang sang mega

Menunggu dengan cinta

Anak-anak yang akan datang menyapa

Membawa segudang cita-cita demi kejayaan negeri

Menunggu dengan seribu harap

Anak-anak itu tak akan berhenti melangkah

Semoga anak-anak itu tidak putus asa

Melewati celah-celah berduri belukar kesukaran

Ilalang terus bergoyang

Menunggu generasi kebanggaan pertiwi,

yang pasti datang mengunjungi

Bertamu dalam bilik-bilik cintanya, serambi-serambi kasihnya

Menceritakan berbagai kisah, kasih, keluh, dan kesah masa perjuangannya

Dengan jutaan impian emas bagi bangsa, dengan jutaan semangat untuk mengejarnya

Ilalang tetap bergoyang, tersenyum ramah, menunggu generasi cahaya

Dadanya dipenuhi sesak rindu

Menunggu generasi yang pulang dari mengkaji cara angkat martabat bangsa, Indonesia

Tawa canda ceria, riang gembira mulai terdengar sayup

Pertanda pembawa bintang telah hampir tiba

Pembawa kilau bintang, potensi bangsa yang sesungguhnya mempesona

Hanya saja terlekang debu terbelenggu

Dan tangan-tangan mungil itu akan kembali memangku jaya

Dan bibir-bibir lembut itu akan kembali ucapkan dengan sepenuh semesta

Merdeka...!

Sampailah langkah-langkah cahaya, di tengah-tengah ilalang

Ilalang yang sejak tadi menunggu mereka

Seperti yang dibayangkannya

Anak-anak itu mulai bercerita...

” Ilalang...

Aku bosan, aku lelah

Letih rasanya aku bersekolah

Aku kalah pandai dengan anak kota

Percuma aku setiap hari menimba ilmu

Nantinya, aku pasti kalah dengan mereka

Aku kalah moderen ilalang...”

Butir air mata meluncur dari mata mereka

Menyeka bulir cucur keringat mereka

Jatuh membasahi alas kaki lusuh yang mereka pakai

Ilalang pilu dengar itu

Ajak mereka tetap tergelak ceria

Seraya berpesan melalui lambainya...

” Tak usahlah engkau bersedih, wahai, kawan!

Di belakangmu masih banyak yang menunggu

Di depan masih banyak yang mengharapkanmu

Di balik itu mereka punya asa yang tinggi, jayanya sang negeri...

Sahabatku, semua itu ada di pundakmu, itu tanggung jawabmu

Aku yakin dirimu bercahaya di balik banyak tambalan di pakaianmu, di balik sepatu yang sudah banyak berlubang, dan di balik hitamnya kulitmu...

Kulit yang senantiasa berteman dengan sengatan matahari

Berjuang, menuntut ilmu untuk meraih cita-cita Pertiwi...”

Mungil bibirnya tersenyum mengiya

Seakan mengerti apa yang dikata oleh sahabatnya, ilalang

Mereka pun beranjak pulang, menjemput matahari yang hendak kembali ke peraduan

Menyapa eloknya cakrawala hati mereka

Seelok langit senja, melangkah menuju merdeka Indonesia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Semangat Itu akan Abadi

Karya: Betari Aisah

Matahari itu sedikit redup
Sinar semerah biasa, tak kudapati
Entahlah, matahari tampak bersedih
Semangatnya tak membara lagi...

Matahari itu...
Lambaikan jemari
Matahari itu, ucapkan berpisah
Matahari itu...

Matahari itu, telah pergi
Matahari itu sebar gulita
Tiada lagi cahaya merahnya
Namun, matahari pergi dengan seumbar senyum terindah

Bumi pun tertunduk, bersedih, menangis
Bumi pun terdiam,tak tahu harus apa
Bumi pun terduduk, meratapi yang terjadi
Bumi berderai air mata
Bumi hampir putus asa

Kepergian matahari membuat kami terpuruk sesaat
Kami terdiam dalam beberapa detik yang mengalun
Mengingat kasih dan riangnya sang matahari
Mengingat semangat derap langkahnya,
yang masih terngiang di telinga

Seharian kami merenung
Seharian tak mampu memandang ke depan
Seharian kami lelah menangis
Seharian kami lelah hanya duduk bersedih

Kami tersentak!
Sesedih apa pun kita, tak dapat kembalikan matahari itu...

Langkah matahari yang sedemikian mantap
Perlu terdengar lagi
Ucap matahari yang membara
Perlu dikumandangkan kembali

Mungkin, tanpanya, langkahku ’kan sedikit meraba
Mungkin, aku akan sulit berjalan
Mungkin, ku tak’kan lagi merasakan belaiannya
Mungkin aku tak dapat lagi memandang indah senyumnya
Mungkin sekarang ia tiada...
Tetapi, semangatnya akan selalu membara

Mungkin sekarang ia tiada
Namun, semangatnya ’kan terus membara
Maka, itu menjadi tenaga, memupuk kembali asanya, melanjutkan ukiran tinta emasnya,menuju Indonesia Emas yang menjadi cita-citanya

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Sejuntai Cahaya Fitrah

Wahai, apakah ini…
Begitu gelap melangkah
Aku takut
Mengapa jalur menjadi terhapus?

Wahai, apakah ini…
Apa ini karena cinta duniaku yang berlebihan
Apakah ini, dosa-dosaku yang merambat hitam
Ataukah ini hatiku yang telah buta…

Tuhan, dengarkah Kau dalam sedu tangisku ini?
Bukankah Engkau Maha Mendengar
Tuhan, aku tak ingin hatiku pekat
Aku tak ingin hatiku pekat oleh debu kehinaan

Tuhan, ke mana ‘ku harus mencari air pembersihan itu
Duhai, Sandaran Hati
Hanya di pelukanmu terasa hangat selalu
Maka, biarkan dulu aku menangis tersedu
Jadikan airmata ini penghapus kotoran hati
Catatlah airmata ini, sebagai penjernih pekatnya debu kehinaanku
Tuhan, maka saksikan airmata ini sebagai bukti taubatku…

Ampuni aku…
Inilah hamba-Mu yang meringkuk sedih, rindu akan maafmu
Inilah hamba-Mu, yang menangis, bermanja dalam pelukan-Mu
Inilah hamba-Mu, yang berbahagia dalam lautan kasih-Mu
Inilah hamba-Mu, yang rindu akan damai-Mu
Inilah hamba-Mu, yang meminta petunjuk dari-Mu

Duhai, Cinta
Sungguh tangisku, sujudku malam ini, tak sebanding dengan kebahagiaan surga-Mu
Hanya ampunan-Mu pengantarku menuju surga-Mu
Tuhan,izinkan kelak aku mendengar salam dari-Mu, sebagai ucapan selamat dari Mahakasih

Esok bangunkan aku dengan cahaya keimanan dalam kalbu
Bersama dengan saudara-saudaraku yang lain, menyambut ampunanmu, menyongsong fitrahku dalam satu kesatuan kesucian yang sama
Dalam Idul Fitri, yang berbahagia

Jember, 1 Oktober 2007

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

The Lovers

Dua Sejoli
Karya : Betari Aisah

Cinta telah temui Kasih
Kasih yang rindu memeluk Cinta
Cinta tersenyum dalam lelap yang untuk selamanya
Perjalanan terjal telah sampai di penghujung
Cinta dan kasih bersatu, bertemu, melepas rindu…

Habis sudah lelah dan dahaga Cinta
Cinta dan Kasih akan selalu bersama
Selamanya tak kan tepisah

Cinta, sang cahaya…
Tanpa cahaya, aku melangkah
dengan sedikit meraba
Jalan berbatu, tidak tampak
Sesekali kuterantuk karang
Namun kucoba untuk tidak mengerang

Sakit…
Tapia pa daya dapat kucoba
Dua sejoli dengan segenap Cinta dan Kasih yang suci,
Telah bertemu…
Bahagia dirasa keduanya
Mengapa aku melarang ?
Bagaimana aku tak rela ?

Pada secarik kertas yang terakhir kulayangkan
Kepada Cinta…
Tertulis seuntai kata yang baru kusadari
Aku tersentak…
“ Jikalau Tuhan tak izinkan kita bertemu di dunia,
semoga Dia izinkan kita bertemu di surga-Nya”

Hatiku hanya IKHLAS
Cinta melihat keikhlasan itu
Hingga Cinta…
Dirindu Kasih Abadi
Dipanggil-Lah Cinta
Dua Sejoli saling rindu pun bertemu

Aku tak perlu meratap
Itu membuang waktuku sia-sia!
Ukiran emas yang belum Cinta selesaikan
Kan kuselesaikan
Jalan masih panjang, rentetan asa masih jauh…
Gerbong-gerbong mimpi masih belum tiba…
Selamat jalan, Cinta
Selamat jalan, Sayang
Selamat jalan pejuang…

Tuhan ampuni aku,
Izinkan hamba memijak surga-Mu
Hamba titip Cinta
Jaga dia
Terangi jalannya
Lapangkan kuburnya

Selamat jalan Bunda Pejuang !


Jember, 11 Juli 2007

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Sebuah Catatan Perjalanan

Masih terekam jelas di benakku
Ketika aku masih sangat kecil
Ketika aku merasakan kasih sayang mereka…
Saat aku masih digendongnya penuh kasih
Di waktu nyanyian halus kasih terlembut mengiang di telingaku

Sebuah catatan perjalanan…
Merasa lambainya antarkan langkahku menuntut ilmu
Senyum mereka buatku bangkit
Aku pun raih prestasi dengan berjuta bunga di hatiku
Gandengan tangan mereka tuntunku meraih mimpi

Sebuah catatan perjalanan...
Ketika buainya buatku tersenyum
Ketika belainya hantarkan aku tidur
Ketika sentuh halusnya bangkitkan aku

Sebuah catatan perjalanan…
Saat canda tawa berderai dari bibirnya
Saat kami mengaji bersama
Saat kami berdiri untuk tiang agama

Sebuah catatan perjalanan...
Kini aku lebih dewasa,
Aku sudah duduk di sekolah lanjutan
Aku sudah lebih dewas,
Aku percaya meraih bintang
Dan aku percaya...
Dia memandangku dari dunia berbeda
Sebuah catatan perjalanan,
Dan aku berharap kami berkumpul kembali dalam surga-Nya

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Berbagi Bunda_cerpen

Berbagi Bunda

“ Ana…!”
“ Whoi…”jawabku.
Yah, aku Ana murid salah satu murid SD Global Internasional School Centre di daerah Surabaya. Aku duduk di kelas 6A. Betapa bangganya aku, ketika namaku tersebut masuk dalam anak-anak kelas 6A, maklumlah, kelas tersebut termasuk kelas yang terelite. Sebab jarang anak yang dapat meraih peringkat kelas itu, nilai semua mata pelajaran minimal 8.
Delapan, book! Bagaimana aku tidak bangga?
Selain itu, ada yang membuatku lebih bangga,yakni, Qiqah, sahabatku. Ayahnya sudah tiada sejak usianya menginjak 4 tahun. Ibunya telah bertahun-tahun menjadi TKW di Saudi Arabia. Qiqah bersekolah di sekolah internasional seperti ini mendapat beasiswa dari pemerintah atas kemenangannya dalam lomba teknologi sederhana anak se-dunia saat ia masih duduk di kelas empat. Saat kelas lima, nyaris saja dia putus sekolah karena penghasilan ibunya tak mampu membiayai sekolah anaknya. Sedangkan ia memiliki empat orang adik lainnya yang juga wajib dihidupi. Aku kadang prihatin atas kehidupan Qiqah. Namun yang membuatku bangga, senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
“ Na, jadi ke ruang musik? Bu Imah menunggu kita, lho!”
” Yukk...!”
Sekali lagu senyum gadis itu membuatku terpesona. Ah, pikiranku melayang pada saat-saat aku bersama ayah dan bundaku. Aku pernah marah pada Ayah ketika keinginanku tak dipenuhinya. Aku pernah membentak bundaku ketika aku tak mau dipaksanya untuk sembahyang. Padahal aku tahu, usiaku sudah melampaui tujuh, dan dalam agamaku usia tujuh sudah harus dipaksa bila tidak mau sembahyang. Aku juga sering marah-marah jika masakan Bunda tidak cocok di lidahku. Tuhan, mengapa selama ini aku tidak bersyukur atas kasih sayang kedua orang tuaku yang masih lengkap menyelimuti hatiku?
” Kirana Amelinda, giliranmu, sayang!”
Oh, Bu Imah membuyarkan lamunanku.
”Selamat berjuang kawan! Semoga kau dapat menarikan jemari di atas piano dengan lancar, God bless you!”
Tuhan, benar-benar anak yang manis. Qiqah, semoga kau juga bisa merasakan kasih sayang seorang bunda seperti yang kurasakan. Tuts demi tuts kupetik dengan penuh kedamaian seorang bunda yang menyayangiku.
Ijazah sudah kami terima. Qiqah maupun aku sendiri mendapat nilai A+. Ehmm..., ada yang berbeda dari wajah Qiqah. Parasnya yang biasa memancarkan senyuman tiba-tiba sirna. Entah apa yang ada di dalam hatinya.
” Qah, ada apa dengan dirimu? Kamu sakit? Ada masalah? Cobalah ceritakan padaku, barangkali aku dapat membantu.” Tanyaku mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Dia hanya tersenyum. Tapi aku yakin, senyumnya berbeda dari biasanya. Bukankah nilai A+ di bidang musik cukup membuat bangga dan membahagiakan bagi pendapatku. Mengapa sahabatku yang satu itu tampak tertekan. Aku tahu di sedang menyimpan masalah.
” Cica-begitu nama kecilnya, katakan saja! Insya Allah, aku bisa membantu.”
Tiba-tiba, dia memelukku. Pipinya basah oleh air mata yang mengalir dari mata lentiknya. Kubiarkan beberapa saat ia menangis di pundakku.
” Na, makasih, ya!”
Bisiknya lirih di telingaku. Cica mulai memulai ceritanya. Wajah cerianya tak kudapati. Sepanjang ia mencurahkan seluruh isi hatinya, dipeluknya tubuhku dengan erat, erat sekali. Qiqah tetap menangis.
” Na, ibuku, Na, ibuku...!”
”Iya, kenapa?”
”Ibuku, Na!”
Ungkapnya sambil terus sesenggukan. Kubelai punggungnya untuk menenangkannya.
” Iya, ada apa dengan ibumu?”
” Ibuku mengidap kanker stadium akhir, dokter berkata umurnya sudah sebentar lagi.”

Aku bagai tersambar petir. Tangis Qiqah makin keras. Semakin kueratkan dekapanku.
” Sekarang Ibu ada di Rumah Sakit Sari Husada. Kami menggunakan kartu ASKES tinggalan almarhum Bapak. Itu pun kurang mencukupi. Syukur salah satu pamanku meninggalkan tabungannya di rumah kami. Kami gunakan untuk merawat Ibu.”
” Sabar, Qah, sabar!”
Hatiku serasa remuk ketika mendengar rintihan sahabat terbaikku itu. Aku mengerti alunan tangisnya.
” Sahabatku, apa pun yang kamu butuhkan, hubungi aku. Pintuku selalu terbuka setiap waktu untukmu.”
Ya, aku akan coba membalas budi baik Qiqah.
” Makasih, Na! Semoga Allah balas jasa kamu!”
Aku mengangguk, tanda mengamini.
” Dan tolong, jangan sampaikan hal ini kepada siapa pun, aku tidak mau merepotkan.”
Aku kembali mengangguk dalam arti berjanji pada Qiqah.
Ternyata Allah benar-benar rindu kepada ibu Qiqah. Dua minggu setelah Qiqah menceritakan segalanya, ibunya dipanggil oleh Sang Kekasih.
Ketika aku dan ayah bundaku datang ke rumahnya, di sana sudah dipenuhi para pelayat.
Melihat aku datang, Qiqah langsung memelukku dan menangis. Tampaknya ia belum dapat menerima semua ini.
” Aku sendirian, Na! Aku sudah tidak punya orang tua lagi! Bapakku pergi, ibuku pergi, aku tidak punya Ibu!”
Kudekatkan telingaku, karena suaranya lirih sekali.
” Qah, bundaku, ayahku, orang tuamu juga. Kita berbagi bunda, ya? Kamu jadi saudaraku, ya?”
”Apakah tidak merepotkan?”
”Tidak, sama sekali tidak!”
Aku meregang dekapannya. Sambil setengah berlari kuhampiri Bunda dan Ayah. Kubisikkan pada telinga keduanya apa rencana besarku untuk Qiqah, gadis manis itu. Bunda tersenyum dan segera menghampiri Qiqah dan adik-adiknya. Bunda memeluk mereka sebagaimana Bunda biasa memelukku. Ayah pun mengikuti langkah Bunda.
” Mulai sekarang jangan panggil saya tante, panggil saja Bunda. Dan ini bukan oom, ini ayah kalian juga!” bundaku berkata lembut namun mantap.
Kini aku punya keluarga baru, yang tak pernah sepi akan kasih sayang. Qiqah menunjukkan senyumnya yang terindah seperti dulu. Terima kasih Qiqah, Cica, Ica, Iqah, apapun namamu, terima kasih sahabatku, kau telah ajarkan aku makna kasih, cinta, dan kesabaran.



JEMBER,19 MEI 2007
Persembahan buat kebangkitan negeriku
Untuk belajar apa makna kasih, sayang, cinta, sabar, dan bersatu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

When Allah touches my heart

Ketika Cinta-Nya Hampiri Hati
Karya: Betari Aisah

Dulu…
Ya,dulu! Sedih amatlah sangat kurasa
Saat masa yang lalu berkelebat di benak mata
Diri ini kotor,hina,kusam,hitam…

Kala itu aku tak kenal siapa Dia
Siapa Dia Yang Maha Tinggi,
Siapa Dia Yang Mahakasih,itu…
Siapa Dia sahabatku yang tak akan
tinggalkan aku sendiri,kapan pun jua,itu…

Subhanallah! Maha Suci Engkau, Yaa Allah!
Saat Kau perlihatkan kebesaran-Mu, Wahai Al-Kabiir!
Saat kau tampakkan betapa sayangnya Engkau padaku,
Wahai Ar-Rohman, Ar-Rohim!

Hanya diri-Mu cinta sejatiku
Sayang, baru hari ini kusadari hal itu kusadari
Sesal menyergap hati
Ke mana syukurku pergi…
Ke mana syukurku terbang…

Padahal bumi,bulan, bintang, galaksi,
bahkan otak yang bernaung di kepalaku,
juga selalu bersyukur pada Allah
Menyebut asma Dia Sang Robbil ‘Alamin

Yaa Allah…
Setetes cinta-Mu yang menghampiri hatiku,
membuatku merasa sangat bahagia
Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seindah ini, duhai Allah!

Sudah kulalui semua belahan bumi
Namun, tak ada seorang pun sahabat
yang mampu membuatku
menitikkan air mata haru seperti ini, wahai Allah!

Aku tahu, bahwa diriku terlalu hina
memijakkan kaki di surga-Mu
Tapi aku juga tahu bahwa…
Engkaulah Al-Ghoffar, Sang Maha Pemaaf
Terimalah maaf tulusku ini…
Aku bertobat, Yaa Allah!

Izinkan kami merasakan hangatnya
dekap-Mu, belai-Mu, kasih-Mu, cinta-Mu
di surga kelak…
Biarkan burung surga membawa kami
terbang tinggi, tinggi , tinggi sekali!
Terbang tinggi menuju surga-Mu.

Surga dan seisinya telah tertulis dalam surat cinta-Mu
Betapa pemurahnya Engkau, Yaa Rohman…
Kau tunjukkan jalan meraih kasih-Mu, duhai Ar-Rohim…
Jangan biarkan kukotori hatiku yang telah bersih ini,
Jangan biarkan kulepaskan genggaman kebahagiaan ini
Yaa Allah…

Sampaikan salam rinduku pada Nabi muhammad
Aku sayang padanya, Yaa Allah
Sampaikan maafku juga padanya
Bilamana selama ini aku sering tinggalkan ajakannya,
Tak pernah kudoakan kebahagiaannya…

Bahkan…
Aku sering tak memikirkannya
Padahal ketika sang maut datang menjelang, ia tetap doakan diriku
Yaa Allah, Engkaulah al-Wallii, Sang Maha Memberi
Izinkan Ayah, Bunda, Guru, pemimpin, saudara, serta diriku sendiri
Dapat menemui Engkau, wahai sandaran hatiku di surga, bersama para Rasul dan sahabatnya…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Harapan Besar dari Anak Kecil

Karya:Betari Aisah

Kala matahari telah lama bersinar
Planet terus tak bosan berputar
Angin semilir masih terus bertiup tebarkan rasa sejuk
Namun, sang bumi belum keluar dari kegundahannya

Sang Bumi lelah menopang manusia-manusia
yang berdiri sombong di atas punggungnya
sang bumi bosan melihat mereka berjalan mendongak kepalanya
Mereka tinggalkan Tuhan, Yang Mencipta Alam

Bumi pun merintih kesakitan ketika
merasakan hentak kaki mereka yang mengusir peminta-minta
Bumi berderai air mata mendengar mereka membentak-bentak orang tuanya
Bumi semakin lemah saat tampak mereka tinggalkan ibadahnya

Kata berbagi, sangat sulit dicerna otaknya maupun hatinya
Kata kasih sayang, tak ada dalam kamus mereka
Jerit bumi kian menjadi, mengadu kepada Tuhannya

Andai kita dapat mendengarnya, mungkin bumi telah meluncurkan suatu doa
“Oh,Tuhan! Aku lelah menopang mereka semua!
Kulihat anak-anak yang durhaka pada orang tuanya!
Kudengar hentak kaki mereka mengusir anak yatim!
Punggungku sakit! Manusia-manusia telah lama melupakan Engkau!”

Andaikata Tuhan bukanlah maha Pengasih dan Penyayang
Hancur luluh lantak diri ini atas kemarahan-Nya

Dan aku di sini, berdiri sebagai seorang anak kecil penerus
Akan terus berharap
Akan terus mencoba berusaha memusnakan semua rintihan bumi
Aku akan terus berdoa semoga bumi tidak menangis lagi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kisah Seorang Pencari Cinta

Kisah Seorang Pencari Cinta
Karya: Betari Aisah

Lelah tak dihiraukan
Tetes peluh hanya diusap
Tiada perhatian terhadap dahaga
Kaki seorang pencari cinta terus melangkah

Pencari cinta itu rindu pada kekasihnya
Luka tak jadi alasan berhenti jalannya
Tetap saja dia susuri jalan curam menuju kasihnya

Sang Kekasih telah menunggu pencari cinta itu
Rupanya Dia juga rindu
Ditunggunya dengan sabar si pencari cinta

Pencari cinta menahan lapar
Tapi terus saja ia maju
Yakin terpatri dalam sukmanya
Entah apa dan siapa yang mendorongnya

Pencari cinta dibuai malam
Hewan-hewan kelam menemaninya
Bintangdan bulan iringi kisahnya
Putus asa, ya, mungkin itu yang terasa

Namun...
Buai selimut malam menambah rindu dalam hatinya
Urung sudah henti langkah sang pencari cinta
Dia mengerti Kasih menunggu di sana
Setiap dia menatap bintang yang menyapa,
ia berderai air mata

Setiap wajahnya diterpa angin malam,
kata syukur bergulir, mengalir dari bibirnya
Ketika ia dengar suara-suara malam,
tasbih meluncur dari lubuk hatinya

Hingga berakhirlah perjalanan panjang tak berujung
si pencari cinta
Ia terlelap untuk selamanya
Sang Kekasih terlalu rindu kepada dia
Hingga dua kalimat syahadat terucap di akhir hayat si pencari cinta


Jember, 13 Juni 2007

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Guruku

Guruku
Karya : Fatma Mei Widya Prananingtyas dan Betari Aisah

Guruku
Kau bagaikan langit selimut malam
Tampakan sinar elok benderang
Berhiaskan bintang rembulan

Wahai, guru...
Walau kau menegur keras
Namun kami mengerti
Bahwa kau sayang pada kami

Cintamu sebesar gunung
Kasihmu seluas samudera
Sayangmu setinggi langit
Cah’yamu seterang sang surya

Guruku...
Betapa aku tak mampu membalas jasamu
Betapa diri ini miskin jika dibanding denganmu
Hamba miskin ilmu!
Sedang kau berilmu seluas dunia !

Guru...
Susah payah kau jalani
Namun sabar selalu tampak dari wajahmu
Menambah beningnya hatimu

Kelakuan kami selama ini...
Begitu jahatnya diri menghadapimu
Itukah yang kubalaskan atas jasamu...
Maafkan kami ayah bunda guru, ridhoi langkahku

Maafkan kami ayah bunda guru, hapuslah kebencian
yang mungkin terpendam terhadap kami
Pupus semua dendam yang mungkin masih tersimpan
Kini yang kami butuhkan adalah maafmu juga ridhomu
Izinkan kami melangkah membangkitkan sang negeri

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Dunia tanpa Sekat

Begitu luas dan bebas
Itulah dunia anak-anak
Yakni dunia pengingkar ruang dan waktu
Yang mengganjal kelogisan keterlaluan

Hidup mereka penuh canda tawa
Yang di dalam pikirannya hanya
bermain, ceria, tertawa, dan permen
Tapi tak semua anak-anak hanya berpikir sebatas itu

Mereka terbangkan pesawar kertasnya
Mereka arungkan kapal laut kartonnya
Mereka bergerak menggenggam erat merah putih di tangan kanan
Di antara gelak tawa yang menjadi-jadi, otak terus berpikir untuk memenuhi janji pada sukma negeri

Celoteh mewarnai hari-hari perjalanan
Bibir mungil terus berucap
Mata tajam tak kaburkan pandangan
Sungguh teguh yakinnya
Sampai ke tujuan, Negeri Indonesia yang merdeka

Hebat, kau sungguh hebat!
Tekadmu setinggi langit
Gigihmu seluas samudera
Yakinmu sebesar dunia

Wahai, penerus, muda-mudi!
Teruskan perjuanganmu
Doa mengiringi perjalananmu
Bangkitkan semangat bangsamu
Sebarkan tiup wangi sukma melati dari negerimu
Sampaikan indah selendang batik Indonesia

Tuhan...
Dengan berbekal ilmu, yakin, dan ridho-Mu
Izinkan kami melangkah lebih maju
Meraih citra emas muda-mudi dan masyarakat negeri


Betari Aisah

25 Mei 2007

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Deru Peluru Menghujam
Karya: Betari Aisah

Sore hari di beranda biru
Tertera bintang gemintang asa mimpiku
Kerlap-kerlip kagumkan kalbu
Hiasi tiap bunga tidurku

Bintang gemintang bersinar terang
Berseri-seri iringi langkah
raih cerahnya sang masa depan

Sore hari di beranda biru
Yang kini telah berubah menjadi kelabu
Terhempas debu gelombang zaman
Tertembus peluru di waktu perang

Lubang-lubang dinding si beranda kini kian pasti
Saat tersiarnya berita-berita dunia
Kala ratusan jiwa melayang bersama

Perang saudara menghentak
Gelombang laut yang meluluhlantak
Air bah datang menyentak
Getaran yang membuat dinding-dinding meretak

Beranda biru yang berubah menjadi kelabu...
Bintang-bintang asaku tak dapat kupandang
Kerlap-kerlipanya semakin kusam
Lubang-lubangnya semakin pasti
Terhujam peluru ganasnya zaman

Lubang itu kian pasti...
Kala jiwa-jiwa terserak
Karena iman, hati yang semakin retak
Meluluh lantak setiap hak, menyentak, menghentak
jiwa-jiwa tak berdosa...

Deru peluru menghujam
Dinding-dinding beranda biru
Di mana kusimpan mimpi-mimpiku...
Ke mana kudapat berlari?
Aku ingin kembali menyusun bintang kecilku
di beranda yang baru
Namun saat ini ’ku hanya dapat menahan hujaman peluru

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Sayap-Sayap Terbang

Sayap-Sayap Terbang

Sayap-sayap itu…
Aku rindu
Rinduku Satu
Hanya Dia

Dan kini derap langkahku
Dan kini hela’ nafasku
Dan kini setiap senyumku
Dan kini peluh keringatku
Hanya untukNya

Dan kini...
Telah kupersiapkan sepasang sayapku
Hendak siaga terbang membentang
Bersiap-siap terus melayang
Aku ingin mendekap Dia

Aku ingin meraih surgaNya
Aku ingin terus mengabdi pada diriNya...
Aku rindu...

Terima kasih Bapak Ibu Guru
Engkaulah penebar cahaya
Butir-butir cinta emas nan murni
yang kau tebarkan di setiap sisi cakrawala kecilku
Telah sampai merasuk ke dalam qalbu

Dan kini...
Aku siap terbangkan sayap-sayapku
Beribu intan permata di seluruh dunia ini,
bahkan butiran pasir di jagad raya ini,
tak dapat ungkapakan rasa maaf dan terima kasihku padamu, wahai, Guru!

Semoga tetes peluh dan bulir cucuran air mata
yang kau curahkan di tiap-tiap bilik kashmu,
tergantikan oleh surgaNya

Berdekatan dengan diri-Nya
Bersama dalam singgasanaNya
Beserta sayap-sayapku, yang kau terbangkan dahulu

JEMBER, 22 MEI 07
Betari Aisah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Akulah Sang Cahaya
Karya: Betari Aisah

Derap langkah kakiku…
Bangkitkan semangat
Setiap hela’an nafasku…
Tebarkan kasih sayang
Akulah sang cahaya!

Senyum simpulku…
Sirnakan duka banyak orang
Setiap tindakanku…
Berikan kebahagiaan bagi semua
Akulah sang cahaya!

Ketika kupancarkan sinarku…
Bumi pun tertawa riang
Saat kulambaikan jemariku…
Semua menatapku dengan senyuman
Akulah sang cahaya!

Kau pasti bertanya,
Siapa aku? Mengapa begitu banyak orang yang berkata kepadaku,
“ Terus berjuang,Nak! Kamulah sang cahaya!”
Kini, aku pun mengerti
Aku dan kawan-kawan yang berdiri di sini,
Adalah generasi muda, yang hendak dilepas ke medan tempur
Di medan globalisasi

‘Kan kuangkat martabat negeriku
Kelak aku percaya, Indonesia punya kereta yang berjalan secepat kilat
Anak-anaknya berkepribadian bak Kaizen
Berakhlak mulia, dan mampu mengantar para orang tuanya menuju surga
Jadilah sang cahaya!


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS